Ada sebuah ungkapan klasik berbunyi: "Di dunia ini, sebenarnya, tiada sesuatu yang baru!" Sekiranya kita melihat dari segi tabiat,
keinginan dan perwatakan manusia, sejak dahulu hinggalah sekarang ini, maka ungkapan di atas amat tepat. Manusia memang mempunyai
tabiat dan kecenderungan yang sama, yang itu juga: ada persahabatan dan perselisihan, ada kezaliman dan ada pula keadilan, ada saat
berdamai dan ada ketikanya berperang. Malah, ada bangsa yang bangun dan maju, ada pula bangsa yang jatuh tersungkur. Begitu jugalah
dengan tamadun serta peradabannya.
Allah s.w.t. menyeru manusia supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lalu, kejadian dan peristiwa yang sudah dilalui oleh umat
terdahulu. Dari sini jelaslah bahawa kehidupan manusia merupakan streotaip, suatu pengulangan dari yang sudah pernah ada atau dialami
umat yang sebelum kita. Apa yang kita hadapi sekarang sudah pernah dilalui oleh umat atau generasi yang sebelum kita, dan ini juga akan
dialami oleh generasi yang selepas kita nanti. Jadi kita dituntut supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lampau atau kejadian pada
generasi terdahulu, supaya kita dapat memperbaiki keadaan yang sedang dan akan berlaku.
Allah s.w.t. berfirman:
Maka ambil iktibar (pengajaran), wahai orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Surah al-Hasyr: 2)
Begitu manusia berganti dan masa berubah, namun watak dan kecenderungannya tetap juga serupa. Maka, memandang ke belakang,
sejarah manusia yang panjang itu, melahirkan kebijaksanaan. Cara ini akan dapat menembus masa lalu sambil memperhatikan pelbagai
peristiwanya, membahas nasihat-nasihatnya, dan mengambil bekal dari percubaan-percubaan orang-orang terdahulu, lalu kita tahu bagaimana
mereka menjauhkan diri mereka dari kesesatan. Inilah pandangan seorang mukmin yang bijaksana.
Allah s.w.t. berfirman , yang maksudnya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Kerana, sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Surah al-Hajj:46)
Seandainya kita menyempatkan diri membolak-balik lembaran al-Quran nescaya kita akan banyak menjumpai kisah yang sengaja Allah abadikan
di dalamnya untuk tatapan manusia seperti kita, yakni yang berkenaan dengan kejadian-kejadian pada masa lalu, termasuklah di dalamnya
pengalaman yang dilalui orang-orang yang bertakwa, juga akibat yang ditanggung oleh orang-orang yang berbuat dosa. Pendek kata,
pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Kesemuanya dijelaskan dan dibentangkan oleh al-Quran di hadapan kita dengan jelas supaya
kita mahu dan bersedia memperhatikan dan memikirkannya.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Surah Yusuf: 11)
Kalaulah kita benar-benar ingin menjadi manusia yang mengenali inti kemanusiaan, maka seharusnya kita bersedia mengarahkan pandangan
kita ke pangkuan sejarah. Menerusi kejadian yang benar dan batas-batas yang jelas inilah seharusnya kita pelajari masa lampau
itu. Mengimbas kembali waktu lampau itu bukanlah untuk memperbaharui rasa sedih atau mengungkit luka lama hingga berdarah
semula, atau berputar di sekitar tragedi yang menyakitkan hati kita, lalu kita berkata: sekiranya, seandainya atau kalaulah dan
sebagainya. Kata-kata seperti ini sangat dibenci oleh Islam. Bahkan, sikap ini merupakan resmi atau kebiasaan orang-orang munafik dan
yang di dalam hatinya ada penyakit.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya:Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka
berkata: Sekiranya kita diberi kebebasan untuk memilih dalam urusan ini,nescaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.
Katakanlah: Sekiranya kamu berada di rumahmu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke
tempat mereka terbunuh. (Surah Ali Imran: 168)
Allah s.w.t. berfirman lagi, yang ertinya: Orang-orang yang mengatakan kepada saudaranya, dan mereka tidak turut pergi
berperang:Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh. Katakanlah, tolaklah kematian itu dari dirimu jika kamu
orang-orang yang benar. (Surah Ali Imran: 168)
Sebenarnya, ratap pilu dan keluh-kesah tak sudah ini telah menguasai orang-orang yang lemah imannya, sesudah terjadi perang Uhud. Kerana
kerugian-kerugian yang dideritai oleh penduduk Madinah sesudah serangan kaum musyrikin itu telah meninggalkan kesan yang mendalam,
dan membuka peluang bagi orang-orang yang dengki terhadap Islam untuk mencela dan menyesali kejadian tersebut.
Pada waktu yang sama Allah s.w.t. telah menurunkan ayat-ayat al-Quran yang mampu mengubati luka ini dan menghimpun kembali persatuan
kaum muslimin setelah musibah yang menimpa mereka itu.
Satu daripada pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah supaya mengalihkan pandangan mereka ke masa depan dan
memalingkan fikiran mereka dari masa lalu, serta mencegah mereka dari terpaku menangisi keruntuhan masa lalu yang telah pergi, dan
tidak akan berulang kembali.
Sikap menangisi nasi yang sudah menjadi bubur bukanlah sikap yang terpuji. Sesungguhnya ini bukanlah ciri-ciri orang yang mempunyai
semangat satria dan penuh kelelakian, dan bukan pula bertolak dari logika iman.
Bagaimanapun, kita memang perlu mengetahui punca kesalahan pada masa yang lalu, agar tidak berulang kesalahan yang serupa pada masa akan
datang. Kita tidak akan melihat apa yang sudah terjadi kecuali sekadar dapat menarik pelajaran daripadanya. Inilah yang dikehendaki
oleh al-Quran al-Karim, yakni menunjukkan faktor-faktor dan sebab-sebab kekalahan tersebut dengan ringkas.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya: Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan menderhakai perintah (Rasul)
sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu apa yang kamu sukai. (Surah Ali Imran: 152)
Allah s.w.t. berfirman lagi, yang maksudnya: Sesungguhnya orang-orang yang berpaling diantara kamu pada hari bertembungnya dua
pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh syaitan disebabkan sebahagian kesalahan yang telah mereka perbuat (pada masa
lalu) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. (Surah Ali Imran: 155)
Mereka tidak dibiarkan bersedih berpanjangan. Lalu Allah pun menolong mereka dengan sesuatu yang dapat meringankan rasa pedih
yang mereka rasakan itu. Mari kita berfikir dengan positif. Untuk apalah kita menampar-nampar pipi dan mengoyak-ngoyak poket baju
kerana kita beroleh keberuntungan atau kerana kita ditimpa kerugian? Apalah keuntungan yang diperoleh orang yang tertarik fikiran dan
perasaannya kepada masa lalu yang telah terkubur selain hanya menambah peritnya luka lama dan pedihnya sebuah kekalahan?
Seandainya tangan kita dapat meraih masa lalu dan kemudian mengubah kejadian-kejadian yang tidak disukai dan memutarnya kepada yang
disukai, maka dalam hal ini kembali kepada masa lampau itu wajib. Dan tentu kita semua akan bergegas ke sana, untuk menghapus
perbuatan-perbuatan yang amat kita sesali, dan melipat gandakan bahagian kita yang tidak memadai. Sekiranya sudah jelas bahawa hal
itu tidak mungkin, maka lebih baik kita memperuntukkan segala kemampuan kita buat memulai hidup baru, maka hanya di dalamnyalah
pengganti dapat kita temui.
Sebenarnya seseorang tidaklah dianggap jahat atas keinginannya yang sangat kuat terhadap kemaslahatannya. Namun jika kemaslahatan ini
hilang kerana sesuatu sebab, terutama yang berkaitan dengan urusan ajal atau rezeki, maka hendaklah kita menjadikan iman kepada Allah
dan kepada ketentuan-Nya sebagai pelipur dari kegundahan dan kecemasan yang bertubi-tubi datangnya.
Maka dengan tegas al-Quran al-Karim telah menegur mereka yang bersikap demikian, sesudah kaum muslimin mengalami kekalahan dalam
perang Uhud. Al-Quran juga memperingatkan orang-orang yang terus menangisi para syuhada, orang-orang yang menyesal telah berangkat ke
medan perang itu: kalaupun kamu tetap tinggal di rumah kamu nescaya hidup kamu tidak akan bertambah panjang dari ajal kamu: Sekiranya
kamu berada di rumah kamu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ketempat mereka terbunuh.
Lantas, mengapa mereka masih terus bersedih dan meratapi kejadian itu? Sekiranya sebuah kapal terbang jatuh terhempas ke bumi dengan
penumpang dan barang yang dibawanya, maka nampaklah di celah-celah mayat-mayat yang hangus itu ada seorang bayi tidak apa-apa, sihat
walafiat keadaannya. Kemudian, mengapa kita masih belum mengakui takdir melalui apa yang telah terjadi itu? Belumkah mencukupi bagimu
kejadian seperti ini sebagai penghibur hati yang duka?
Untuk melanjutkan perbincangan kita dalam topik ini, Dale Carnegie mengajak kita berfikir lebih jauh lagi. Katanya: Kita dapat
melakukan sesuatu untuk mengubah akibat dari apa yang terjadi 180 saat yang lalu, tetapi kita tidak mungkin dapat mengubah peristiwa
yang sudah terjadi! Hanya ada satu cara untuk memanfaatkan masa lalu, iaitu dengan membuat analisa yang tenang terhadap apa yang
sudah terjadi, atau semua kesalahan yang telah kita perbuat dan menarik pelajaran daripadanya dan kemudian melupakannya!
Dale Carnegie mengatakan hal yang benar, dan saya mengerti hal tersebut, tetapi apakah kita memiliki keberanian yang cukup untuk
melakukannya? Kemudian beliau melanjutkan:
Seorang lelaki bernama Sauders pernah menceritakan kepada saya bahawa Mr. Brandwine, seorang guru yang mengajar mata pelajaran ilmu
kesihatan di sekolah George Washington High School, mengajarkan kepadanya suatu pelajaran yang tidak dapat ia dilupakan seumur
hidupnya. Berikut ini marilah kita perhatikan Sauders menceritakan kisahnya: "Pada waktu itu saya masih remaja, belum lagi mencapai
usia dua puluh tahun. Nasib saya sungguh malang kerana pada usia itu saya sudah mengidap penyakit cemas. Saya selalu sedih dan makan hati
atas perbuatan yang telah saya lakukan. Selesai mengikuti peperiksaan, saya selalu tidak dapat tidur malam, saya hanya berbaring sahaja sepanjang malam, kerana terlalu takut aku tidak berjaya dalam peperiksaan itu. Memang saya seorang remaja yang sering hidup pada masa silam, pada suatu yang sudah saya lakukan, dan selalu berharap agar saya telah melakukan hal-hal yang berbeza, malah saya sering berfikir bahawa apa yang telah saya lakukan itu hendaknya berbeza dengan saya inginkan sesudahnya".
"Apabila sampai pada suatu pagi, semua murid dalam kelas disuruh masuk ke makmal. Tidak berapa lama setelah itu, Mr. Brandwine datang
dengan membawa segelas susu yang kemudian diletakkan di atas meja yang ada di hadapannya. Kami semua memandang ka arah gelas yang
berisi susu itu dan bertanya-tanya dalam hati: Apa pula gerangan hubungan susu dalam gelas itu dengan pelajaran yang akan diterangkannya kali ini? Mr. Brandwine berdiri serta merta dari kerusinya, lalu tangannya tersentuh gelas berisi susu tersebut hingga ia jatuh berkecai dan isinya tumpah ke tanah. Kemudian, dengan suara yang hampir berteriak, beliau berkata kepada kami:
"Jangan tangisi susu yang tertumpah!"
"Kemudian ia meminta kami semua melihat pecahan-pecahan gelas dan cairan susu yang telah meresap ke dalam tanah itu, lalu ia berkata: "Cuba lihat baik-baik, saya ingin kamu meresapkan pelajaran ini kedalam hati untuk selama-lamanya. Susu tadi telah hilang seperti yang kamu lihat, meresap kedalam tanah. Tidak ada satu kekuatanpun yang mampu mengembalikannya walau hanya setitis.
Barangkali, jika kita mahu berfikir dan berhati-hati, mungkin kita dapat mengelakkan kejadian tersebut, tetapi kini segalanya telah
terlambat. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang adalah melapnya dan melupakannya. Lalu, kita teruskan pekerjaan lain yang masih tersisa,
yang perlu diselesaikan.
Alangkah tepatnya pengajaran tersebut, dan hal yang hampir sama disebut dalam hadis yang berikut ini: Minta tolonglah kepada Allah
dan jangan menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu maka janganlah mengatakan: "Seandainya aku mengerjakan begini maka akan menjadi
begitu!" Tetapi katakanlah: "Itu semua adalah takdir Allah, apa yang dikehendakiNya dibuatNya." Sebab, perkataan: "seandainya…" itu
akan membuka pintu buat syaitan.
Keberanian untuk melepaskan masa lalu, maka kita, dengan izin Allah, mampu meneruskan perjalanan hidup kita dengan penuh semangat dan
harapan semoga di lain kali berjaya.
keinginan dan perwatakan manusia, sejak dahulu hinggalah sekarang ini, maka ungkapan di atas amat tepat. Manusia memang mempunyai
tabiat dan kecenderungan yang sama, yang itu juga: ada persahabatan dan perselisihan, ada kezaliman dan ada pula keadilan, ada saat
berdamai dan ada ketikanya berperang. Malah, ada bangsa yang bangun dan maju, ada pula bangsa yang jatuh tersungkur. Begitu jugalah
dengan tamadun serta peradabannya.
Allah s.w.t. menyeru manusia supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lalu, kejadian dan peristiwa yang sudah dilalui oleh umat
terdahulu. Dari sini jelaslah bahawa kehidupan manusia merupakan streotaip, suatu pengulangan dari yang sudah pernah ada atau dialami
umat yang sebelum kita. Apa yang kita hadapi sekarang sudah pernah dilalui oleh umat atau generasi yang sebelum kita, dan ini juga akan
dialami oleh generasi yang selepas kita nanti. Jadi kita dituntut supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lampau atau kejadian pada
generasi terdahulu, supaya kita dapat memperbaiki keadaan yang sedang dan akan berlaku.
Allah s.w.t. berfirman:
Maka ambil iktibar (pengajaran), wahai orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Surah al-Hasyr: 2)
Begitu manusia berganti dan masa berubah, namun watak dan kecenderungannya tetap juga serupa. Maka, memandang ke belakang,
sejarah manusia yang panjang itu, melahirkan kebijaksanaan. Cara ini akan dapat menembus masa lalu sambil memperhatikan pelbagai
peristiwanya, membahas nasihat-nasihatnya, dan mengambil bekal dari percubaan-percubaan orang-orang terdahulu, lalu kita tahu bagaimana
mereka menjauhkan diri mereka dari kesesatan. Inilah pandangan seorang mukmin yang bijaksana.
Allah s.w.t. berfirman , yang maksudnya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Kerana, sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Surah al-Hajj:46)
Seandainya kita menyempatkan diri membolak-balik lembaran al-Quran nescaya kita akan banyak menjumpai kisah yang sengaja Allah abadikan
di dalamnya untuk tatapan manusia seperti kita, yakni yang berkenaan dengan kejadian-kejadian pada masa lalu, termasuklah di dalamnya
pengalaman yang dilalui orang-orang yang bertakwa, juga akibat yang ditanggung oleh orang-orang yang berbuat dosa. Pendek kata,
pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Kesemuanya dijelaskan dan dibentangkan oleh al-Quran di hadapan kita dengan jelas supaya
kita mahu dan bersedia memperhatikan dan memikirkannya.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Surah Yusuf: 11)
Kalaulah kita benar-benar ingin menjadi manusia yang mengenali inti kemanusiaan, maka seharusnya kita bersedia mengarahkan pandangan
kita ke pangkuan sejarah. Menerusi kejadian yang benar dan batas-batas yang jelas inilah seharusnya kita pelajari masa lampau
itu. Mengimbas kembali waktu lampau itu bukanlah untuk memperbaharui rasa sedih atau mengungkit luka lama hingga berdarah
semula, atau berputar di sekitar tragedi yang menyakitkan hati kita, lalu kita berkata: sekiranya, seandainya atau kalaulah dan
sebagainya. Kata-kata seperti ini sangat dibenci oleh Islam. Bahkan, sikap ini merupakan resmi atau kebiasaan orang-orang munafik dan
yang di dalam hatinya ada penyakit.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya:Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka
berkata: Sekiranya kita diberi kebebasan untuk memilih dalam urusan ini,nescaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.
Katakanlah: Sekiranya kamu berada di rumahmu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke
tempat mereka terbunuh. (Surah Ali Imran: 168)
Allah s.w.t. berfirman lagi, yang ertinya: Orang-orang yang mengatakan kepada saudaranya, dan mereka tidak turut pergi
berperang:Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh. Katakanlah, tolaklah kematian itu dari dirimu jika kamu
orang-orang yang benar. (Surah Ali Imran: 168)
Sebenarnya, ratap pilu dan keluh-kesah tak sudah ini telah menguasai orang-orang yang lemah imannya, sesudah terjadi perang Uhud. Kerana
kerugian-kerugian yang dideritai oleh penduduk Madinah sesudah serangan kaum musyrikin itu telah meninggalkan kesan yang mendalam,
dan membuka peluang bagi orang-orang yang dengki terhadap Islam untuk mencela dan menyesali kejadian tersebut.
Pada waktu yang sama Allah s.w.t. telah menurunkan ayat-ayat al-Quran yang mampu mengubati luka ini dan menghimpun kembali persatuan
kaum muslimin setelah musibah yang menimpa mereka itu.
Satu daripada pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah supaya mengalihkan pandangan mereka ke masa depan dan
memalingkan fikiran mereka dari masa lalu, serta mencegah mereka dari terpaku menangisi keruntuhan masa lalu yang telah pergi, dan
tidak akan berulang kembali.
Sikap menangisi nasi yang sudah menjadi bubur bukanlah sikap yang terpuji. Sesungguhnya ini bukanlah ciri-ciri orang yang mempunyai
semangat satria dan penuh kelelakian, dan bukan pula bertolak dari logika iman.
Bagaimanapun, kita memang perlu mengetahui punca kesalahan pada masa yang lalu, agar tidak berulang kesalahan yang serupa pada masa akan
datang. Kita tidak akan melihat apa yang sudah terjadi kecuali sekadar dapat menarik pelajaran daripadanya. Inilah yang dikehendaki
oleh al-Quran al-Karim, yakni menunjukkan faktor-faktor dan sebab-sebab kekalahan tersebut dengan ringkas.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya: Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan menderhakai perintah (Rasul)
sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu apa yang kamu sukai. (Surah Ali Imran: 152)
Allah s.w.t. berfirman lagi, yang maksudnya: Sesungguhnya orang-orang yang berpaling diantara kamu pada hari bertembungnya dua
pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh syaitan disebabkan sebahagian kesalahan yang telah mereka perbuat (pada masa
lalu) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. (Surah Ali Imran: 155)
Mereka tidak dibiarkan bersedih berpanjangan. Lalu Allah pun menolong mereka dengan sesuatu yang dapat meringankan rasa pedih
yang mereka rasakan itu. Mari kita berfikir dengan positif. Untuk apalah kita menampar-nampar pipi dan mengoyak-ngoyak poket baju
kerana kita beroleh keberuntungan atau kerana kita ditimpa kerugian? Apalah keuntungan yang diperoleh orang yang tertarik fikiran dan
perasaannya kepada masa lalu yang telah terkubur selain hanya menambah peritnya luka lama dan pedihnya sebuah kekalahan?
Seandainya tangan kita dapat meraih masa lalu dan kemudian mengubah kejadian-kejadian yang tidak disukai dan memutarnya kepada yang
disukai, maka dalam hal ini kembali kepada masa lampau itu wajib. Dan tentu kita semua akan bergegas ke sana, untuk menghapus
perbuatan-perbuatan yang amat kita sesali, dan melipat gandakan bahagian kita yang tidak memadai. Sekiranya sudah jelas bahawa hal
itu tidak mungkin, maka lebih baik kita memperuntukkan segala kemampuan kita buat memulai hidup baru, maka hanya di dalamnyalah
pengganti dapat kita temui.
Sebenarnya seseorang tidaklah dianggap jahat atas keinginannya yang sangat kuat terhadap kemaslahatannya. Namun jika kemaslahatan ini
hilang kerana sesuatu sebab, terutama yang berkaitan dengan urusan ajal atau rezeki, maka hendaklah kita menjadikan iman kepada Allah
dan kepada ketentuan-Nya sebagai pelipur dari kegundahan dan kecemasan yang bertubi-tubi datangnya.
Maka dengan tegas al-Quran al-Karim telah menegur mereka yang bersikap demikian, sesudah kaum muslimin mengalami kekalahan dalam
perang Uhud. Al-Quran juga memperingatkan orang-orang yang terus menangisi para syuhada, orang-orang yang menyesal telah berangkat ke
medan perang itu: kalaupun kamu tetap tinggal di rumah kamu nescaya hidup kamu tidak akan bertambah panjang dari ajal kamu: Sekiranya
kamu berada di rumah kamu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ketempat mereka terbunuh.
Lantas, mengapa mereka masih terus bersedih dan meratapi kejadian itu? Sekiranya sebuah kapal terbang jatuh terhempas ke bumi dengan
penumpang dan barang yang dibawanya, maka nampaklah di celah-celah mayat-mayat yang hangus itu ada seorang bayi tidak apa-apa, sihat
walafiat keadaannya. Kemudian, mengapa kita masih belum mengakui takdir melalui apa yang telah terjadi itu? Belumkah mencukupi bagimu
kejadian seperti ini sebagai penghibur hati yang duka?
Untuk melanjutkan perbincangan kita dalam topik ini, Dale Carnegie mengajak kita berfikir lebih jauh lagi. Katanya: Kita dapat
melakukan sesuatu untuk mengubah akibat dari apa yang terjadi 180 saat yang lalu, tetapi kita tidak mungkin dapat mengubah peristiwa
yang sudah terjadi! Hanya ada satu cara untuk memanfaatkan masa lalu, iaitu dengan membuat analisa yang tenang terhadap apa yang
sudah terjadi, atau semua kesalahan yang telah kita perbuat dan menarik pelajaran daripadanya dan kemudian melupakannya!
Dale Carnegie mengatakan hal yang benar, dan saya mengerti hal tersebut, tetapi apakah kita memiliki keberanian yang cukup untuk
melakukannya? Kemudian beliau melanjutkan:
Seorang lelaki bernama Sauders pernah menceritakan kepada saya bahawa Mr. Brandwine, seorang guru yang mengajar mata pelajaran ilmu
kesihatan di sekolah George Washington High School, mengajarkan kepadanya suatu pelajaran yang tidak dapat ia dilupakan seumur
hidupnya. Berikut ini marilah kita perhatikan Sauders menceritakan kisahnya: "Pada waktu itu saya masih remaja, belum lagi mencapai
usia dua puluh tahun. Nasib saya sungguh malang kerana pada usia itu saya sudah mengidap penyakit cemas. Saya selalu sedih dan makan hati
atas perbuatan yang telah saya lakukan. Selesai mengikuti peperiksaan, saya selalu tidak dapat tidur malam, saya hanya berbaring sahaja sepanjang malam, kerana terlalu takut aku tidak berjaya dalam peperiksaan itu. Memang saya seorang remaja yang sering hidup pada masa silam, pada suatu yang sudah saya lakukan, dan selalu berharap agar saya telah melakukan hal-hal yang berbeza, malah saya sering berfikir bahawa apa yang telah saya lakukan itu hendaknya berbeza dengan saya inginkan sesudahnya".
"Apabila sampai pada suatu pagi, semua murid dalam kelas disuruh masuk ke makmal. Tidak berapa lama setelah itu, Mr. Brandwine datang
dengan membawa segelas susu yang kemudian diletakkan di atas meja yang ada di hadapannya. Kami semua memandang ka arah gelas yang
berisi susu itu dan bertanya-tanya dalam hati: Apa pula gerangan hubungan susu dalam gelas itu dengan pelajaran yang akan diterangkannya kali ini? Mr. Brandwine berdiri serta merta dari kerusinya, lalu tangannya tersentuh gelas berisi susu tersebut hingga ia jatuh berkecai dan isinya tumpah ke tanah. Kemudian, dengan suara yang hampir berteriak, beliau berkata kepada kami:
"Jangan tangisi susu yang tertumpah!"
"Kemudian ia meminta kami semua melihat pecahan-pecahan gelas dan cairan susu yang telah meresap ke dalam tanah itu, lalu ia berkata: "Cuba lihat baik-baik, saya ingin kamu meresapkan pelajaran ini kedalam hati untuk selama-lamanya. Susu tadi telah hilang seperti yang kamu lihat, meresap kedalam tanah. Tidak ada satu kekuatanpun yang mampu mengembalikannya walau hanya setitis.
Barangkali, jika kita mahu berfikir dan berhati-hati, mungkin kita dapat mengelakkan kejadian tersebut, tetapi kini segalanya telah
terlambat. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang adalah melapnya dan melupakannya. Lalu, kita teruskan pekerjaan lain yang masih tersisa,
yang perlu diselesaikan.
Alangkah tepatnya pengajaran tersebut, dan hal yang hampir sama disebut dalam hadis yang berikut ini: Minta tolonglah kepada Allah
dan jangan menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu maka janganlah mengatakan: "Seandainya aku mengerjakan begini maka akan menjadi
begitu!" Tetapi katakanlah: "Itu semua adalah takdir Allah, apa yang dikehendakiNya dibuatNya." Sebab, perkataan: "seandainya…" itu
akan membuka pintu buat syaitan.
Keberanian untuk melepaskan masa lalu, maka kita, dengan izin Allah, mampu meneruskan perjalanan hidup kita dengan penuh semangat dan
harapan semoga di lain kali berjaya.
Mutiara Kata
:: Lebih dekat kita melangkah ke dalam medan perang, lebih dekat lagi kematian mengekori kita.
No comments:
Post a Comment